Sabtu, 04 September 2010

Nilai dan Etika Lingkungan


Nilai & Etika Lingkungan
Pandangan Mendegradasi Posisi Khalifatul Fil Ard Manusia

Fanani Haryo Widodo


Beberapa pandangan nilai dan etika lingkungan telah diekspresikan dengan mengadopsi tiga model teori etika lingkungan, yaitu antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Secara linier ketiga model tersebut dijelaskan sebagai suatu proses transformasi kesadaran manusia tentang etika lingkungan yang semestinya dibangun dalam menjawab berbagai problem lingkungan hidup. Perubahan dari antroposentrisme ke ekosentrisme melalui biosentrisme merupakan proses peningkatan inklusifitas ruang etika lingkungan dengan memandang makhluk biotik dan abiotik memiliki kedudukan yang sama dalam kepemilikan terhadap hak asasi sebagai landasan bagi peran dan fungsinya dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Entry point kajian etika lingkungan dimulai dari evaluasi terhadap antroposentrisme yang dipandang sebagai representasi pemikiran Barat yang menyesatkan, yaitu menghantarkan kehidupan pada distorsi lingkungan hidup sebagaimana yang banyak ditunjukkan dalam beberapa buku seperti diantaranya (1) pencemaran lingkungan, (2) penyempitan makna etika hanya untuk makhluk yang rasional dan bebas yang kemudian melahirkan praktik-praktik exploitasi manusia atas manusia, laki-laki terhadap perempuan, atau ras manusia terhadap ras manusia yang lain seperti yang terjadi pada budak dan ras kulit berwarna, (3) idealisasi hukum positif sebagai tatatan hidup bersama yang berimplikasi pada pendelegitimasian kekayaan dan kearifan tradisional masyarakat adat yang mereka jalani dalam memperlakukan alam. Kesalahan fundamental sebagai implikasi cara pandang Barat yang diwakili oleh Aristoteles dan filsuf-filsuf modern terletak pada penyempitan ruang etika yang hanya berlaku bagi komunitas manusia. Posisi manusia (Barat) dipandang sentral dalam struktur bangunan etika yang melahirkan banyak praktik-praktik yang mendistorsi tersebut. Kesalahan fundamental cara pandang ini terletak pada sikap yang memposisikan alam dan segala isinya hanya sebagai instrumen ekonomis bagi kepentingan manusia. Karenanya diperlukan perubahan cara pandang yang lebih komprehensif dengan melibatkan makhluk-makhluk biotik selain manusia dan juga makhluk abiotik sebagai komponen yang harus dipertimbangkan dalam membangun paradigma tentang etika lingkungan.

Perluasan antroposentrisme dengan memasukkan makhluk biotik selain manusia dalam bangunan etika telah melahirkan model baru yang kemudian disebut sebagai biosentrisme. Pada paham etika baru ini, konsep etika dibatasi pada komunitas makhluk  hidup, manusia dan hewan serta tumbuhan, dan karenanya disebut biosentrisme. Pada sisi lain nilai intrinsik suatu lingkungan alam tidak harus dipandang sebatas bernilai ekonomis bagi kebutuhan hidup manusia yang senantiasa dipandang mendesak tetapi terkait juga dengan hak-hak asasi alam itu sendiri yang wajib diperhatikan dan karenanya harus senantiasa dilibatkan dalam setiap keputusan pengelolaan alam oleh manusia. Dari sana kemudian biosentrisme diperluas dengan memasukkan makhluk abiotik dalam bangunan etika dan muncullah paham etika lingkungan yang lebih baru yang disebut ekosentrisme. Di banyak komunitas yang populasi manusianya semakin padat, tingkat kecenderungan pada pelestarian lingkungan dan mempertahankan keseimbangan ekosistem adalah sebuah persoalan antara pilihan politik untuk kepentingan sesaat dan komitmen pada akomodasi kepentingan hak-hak alam sendiri yang sejatinya juga untuk kepentingan manusia jangka panjang yang berkelanjutan. Sustainability kemudian menjadi kata kunci bagi kelangsungan hidup makhluk yang tidak terbatas pada periode waktu tertentu.

Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas, mengakomodasi seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari satu cosmos kecil dalam sistem alam yang memfasilitasi eksistensi kehidupan. Substansinya adalah keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Distorsi keteraturan alam diyakini memberi impact (long-term result) dalam bentuk kerusakan setiap dimensi kehidupan. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis, melainkan sebagai satu kesatuan organis yang sarat dengan ketergantungan.

Persoalan yang muncul dari beberapa buku tentang etika lingkungan adalah pada penarikan kesimpulan bahwa antroposentrisme dipandang sebagai sumber berbagai kerusakan lingkungan hidup. Bahwa ketika manusia menjadi pusat dari mana etika dibangun maka kerusakan alam dipastikan menjadi muaranya. Makna antroposentris disempitkan dengan pemaknaan manusia sebagai makhluk sosial dimana sisi biologis dan ekologisnya dipandang berada diluar. Logika ”didalam” dan ”diluar” ini yang kemudian dijadikan alasan pembenar untuk mengajukan antitesa sebagai alternatif yang harus diterima dalam perumusan kebijakan-kebijakan pada seluruh tatanan kehidupan yang bersentuhan upaya menjaga keseimbangan ekologi. Dengan logika itu pula paham antroposentrisme disesatkan sebagai pandangan yang mendiskritkan obyek-obyek penyusun alam. Justifikasi bagi alternatif yang diajukan kemudian adalah biosentrisme dan ekosentrisme. Anehnya,  keduanya disamakan karena dipandang mempunyai banyak kesamaan meskipun substansinya berbeda ketika logika ”didalam” dan ”diluar” juga dipakai. Dalam biosentrisme, makhluk biotik didalam dan makhluk abiotik diluar. Dan karenanya, peningkatan inklusifitas konsep etika dengan mengakomodasi semua  kepentingan yang abiotik dalam konsep ekosentrisme diyakini sebagai alternatif yang bisa membawa pada keharmonisan tatanan kehidupan. Tapi kenapa biosentrisme dan ekosentrisme dipandang berada pada satu kubu yang berseberangan secara diametral dengan antroposentrisme. Karena antroposentrisme diyakini menghasilkan kerusakan maka diidentifikasi sebagai Shallow Environmental Ethics, yang common sense-nya bermakna negatif. Sedangkan dua konsep yang lain yang berada dalam satu kubu diasosiasikan dengan makna positif melalui label Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics.

Beberapa buku mengulas tentang nilai dan etika lingkungan dengan pendekatan inklusivisme-eksklusivisme, mayoritas-minoritas, Islam-non Islam, hukum positif-hukum adat, homogenisme-pluralisme, Barat-Timur, dan dichotomi-dichotomi lain. Karenanya cukup reasonable ketika agama-agama besar dipersalahkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Disadari atau tidak, Islam adalah agama besar dan universal. Dan karenanya menjadi bisa dipahami terdapatnya rumusan ”manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta” ditempelkan sebagai makna dari antroposentrisme yang dibantai beberapa kalangan . Rumusan terakhir ini maknanya tidak jauh berbeda dengan ”huwalladi  ja-alakum kholaifal ard” yang berarti ”telah aku jadikan manusia sebagi kholifah di bumi”. Karenanya, ketika antroposentrisme yang dipakai membungkus ”manusia sebagai kholifatul fil ard” dibantai maka isi bungkusan itulah yang terbantai.

Dalam konsep Tauhidullah manusia adalah makhluk alternatif yang mempunyai dua pilihan atau peluang, yaitu  berpeluang menjadi makhluk yang paling mulia tetapi juga berpeluang menjadi makhluk yang paling hina. Manusia diposisikan sebagai makhluk tengahan, berada diantara nilai positif (malaikat) dan nilai negatif (syaitan). Manusia adalah pemimpin di bumi yang bisa membawa alam beserta isinya tetap terjaga keseimbangan ekosistemnya manakala kepemimpinannya berkolaborasi dengan ”malaikat”, dan bisa juga membawa sebaliknya ketika leadership-nya bersimbiose dengan ”syaitan”. Ketika mind-set manusia adalah malaikat maka manusia memiliki kesadaran untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara hubungan secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal untuk menjaga semangat ”malaikat” dan secara horizontal untuk menjaga hubungan yang melestarikan dengan makhluk lain baik hewan dan tumbuhan maupun seluruh makhluk abiotik. Contoh best practices yang ditunjukkan oleh nabi Nuh adalah ilustrasi yang meneguhkan bahwa makhluk biotik yang lain selain manusia harus dihargai eksistensinya dengan ”menghentikan rombongan nabi Nuh untuk sekedar memberi peluang rombongan semut untuk lewat” sehingga tidak terinjak rombongan nabi Nuh. Tauhidullah juga mengajarkan manusia dimanapun berada untuk tetap bisa menjadi ”rahmat” bagi alam sekitar (rahmatan lil alamin), apalagi ”rahmat” bagi sesama manusia (rahmatan lin-nas). Dalam konsep ini, manusia memang berada pada posisi sentral (pemimpin) dan karenanya bangunan etikanya memang harus antroposentrisme, yang memiliki peluang membawa alam bermuara pada dua kutub yang berseberangan – positif atau negatif. Persoalannya adalah ketika sebagian besar fakta empiris yang menegaskan kepemimpinan manusia berkecenderungan menghantarkan alam menuju kutub negatif dijadikan dasar untuk mengganti antroposentrisme dengan biosentrisme dan ekosentrisme yang berimplikasi mendegradasi derajat manusia sama dengan makhluk yang lain baik biotik maupun abiotik maka ”kalam dan fi’l Allah’ telah dihapus dan digantikan oleh hasil pikir manusia yang notabene merupakan makhluk (ciptaan) Allah.

Dalam konsep Tauhidullah, manusia bersifat kreatif memiliki kemampuan untuk mengetahui jagat raya beserta isinya dan berfungsi sbg abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ‘ardi (pengganti Allah di bumi) (Q, 2 : 30). Sbg abdullah manusia berlandaskan kalam Allah, sbg khalifatullah berlandaskan fil Allah (perbuatan atau ciptaan Allah). Bangunan etika dalam pandangan ini dirumuskan oleh Al Ghazali bahwa kesadaran adalah bertingkat dari buruk ke baik; ammarah (buruk), subiah (dorongan perut), lawwanah (labil), muthmainnah (baik). Secara ontologis kesadaran tersebut mengisi ruang kognitif, afektif, dan psikhomotorik. Kesalahan fatal dalam pembantaian terhadap rumusan ”manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta” tetapi sangat halus, bila tidak dicermati, adalah adanya peluang bagi terjadinya perubahan ideologis yang mentransformir posisi dan derajat manusia sejajar dengan makhluk lain dan menutup peluang bagi manusia untuk menjadi mahluk yang paling mulia.